Kenapa bukan Jokowi?
Selamat
pagi. Di sela-sela aktivitas yang masih normal-normal saja. Ada beberapa berita
yang menjadi tranding topic dalam 1 bulan terakhir. Seperti tidak ada habisnya
perang antar pendukung capres dan cawapres. Setelah dua kali pertemuan debat,
seakan sudah jelas siapa yang pantas dipilih dan siapa yang belum pantas untuk
dipilih. Dalam hal ini akan saya paparkan alasan pribadi saya kenapa lebih
cenderung memilih Prabowo-Hatta.
Dulu
sejak Jokowi digadang-gadang menjadi walikota terbaik saat pemimpin solo dengan
segudang prestasi bahkan penghargaan istimewa dari luar negeri, saya sangat
terkesan sekali. Penampilannya yang sederhana dan gaya pemimpin yang apa
adanya. Selain itu ketika masih bomingnya mobil esemka yang
katanya buatan asli anak bangsa dan dipakai sebagai mobil dinas Jokowi menambah
simpati saya terhadap beliau. Setahun kemudian beliau diusung beberapa partai
termasuk partai Gerinda untuk menjadi calon Gunernur DKI Jakarta. Karena saya
bukan warga Jakarta jadi saya menganggap hal yang biasa dan kalau pun menang
dan kalah tidak akan mempengaruhi kehidupan saya. Dengan dukungan dan prestasi
beliau yang selalu ditampilkan diberbagai media membuat populeritasnya melejit
tinggi, yang akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2017).
Dalam
perjalanan pemerintahannya Jokowi selalu disorot media. Dari mulai kebiasaan
blusukan dan gaya kepemimpinan yang sederhana terlihat merakyat. Beberapa proyek
pun berhasil diwujudkan untuk mengatasi banjir seperti menata waduk pluit dan
pembangunan rusun serta pasar tanah abang. Dan yang paling membuat saya
terkesan adalah sifat polos yang meneduhkan meskipun populer setiap ditanya
wartawan tentang Capres untuk tahun 2014, beliau selalu menjawab “copras-capres,
saya masih mau fokus ngurusi Jakarta, surava-survei, saya ndak mikir survey”
dari sana saya yakin inilah pemimpin sejati. Pendapat saya Jokowi memang pantas
menjadi Presiden tapi bukan tahun 2014 namun 2019 setelah masa pemerintahan
menjadi Gubernur ia seleaikan dulu.
Namun
entah kenapa saat menjelang Pileg April lalu, tanpa diduga beliau bersedia
ditunjuk Megawati untuk maju menjadi Capres. Nah dari sinilah awal jatuhnya
martabat beliau dimata saya. Bak bintang yang jatuh melesat kebawah. Rasa keraguan
mulai menghampiri, kok bisa? Gak inget janji-janjinya saat dilantik dulu bahwa
akan memimpin Jakarta sampai 5 tahun kedepan, gak ingat ucapanya saat ditanya
tentang Capres? Hah? Rasa kesal saya mulai tumbuh, dan isu tentang pemimpin
boneka memang seolah benar-benar adanya. Yang lebih menyedihkan lagi pencitraan
tentang beliau begitu penuh settingan untuk mendapat simpati dari rakyat. Mulai
dari naik Bajaj saat menuju KPU, blusukan ke Papua, ah semua hanya pamer. Dan saat
debat pun sungguh sangat mengecewakan. Mulai saat itulah saya beralih pandangan
untuk mendukung Prabowo-Hatta.
Jujur
saat melihat Prabowo pada tahun 2009 ketika itu menjadi Cawapres Megawati saya
seakan takut, karena background militer yang terlihat garang. Namun setelah
menelusuri berbagai info dan cerita sejarah, Prabowo hanyalah korban Isu HAM
yang masih belum jelas. Dalam perjalanan karier poilitik Prabowo juga sering
difitnah, dari saingannya termasuk Pak Wiranto dan Bu Megawati. Seolah terbongkar
semua mana yang hitam dan mana yang putih. Siapa yang benar dan siapa yang
salah. Siapa yang tulus memimpin dan siapa yang masih disuruh-suruh memimpin. Hadirnya
Prabowo sebagai rival Jokowi dalam Pilpres semakin seru., dari muali black
campaing dan lain-lain kerap menimpa kedua pasangan. Meskipun tidak ada
pemimpin yang sempurna, saya lebih menaruh hati kepada Pak Prabowo.
Comments
Post a Comment