Menantang Generasi Milenial dengan Beladiri Pencaksilat (bagian 1)
Selamat
pagi, tentu kalian punya impian yang harus kalian wujudkan agar menuntaskan
rasa penasaran akan mimpi itu. Sama seperti mimpi yang kalian punya aku juga
pernah memimpikan untuk menjadi pendidik yang bisa berkarya dan mendorong
prestasi siswanya. Pada episode cerita kali ini, akan aku bahas mengenai perjalanan mendirikan
ektrakurikuler di sekolah menengah kejuruan dengan berbagai tantangan dan
perjuangan yang mengirinya.
Semula
tidak pernah terencana bila aku bisa mendirikan dan menjadi pelatih sekaligus
pembina ekstrakurikuler beladiri, karena tugas utamaku adalah sebagai pengajar,
yang sebagian besar waktu berinteraksi dengan peserta didik terjadi di ruang kelas. Sedangkan untuk kegiatan
ektrakurikuler merupakan kegiatan yang difokuskan untuk menunjang penyaluran
minat dan bakat peserta didik (non akademik) terjadi di luar waktu
pembelajaran. Lalu bagaimana bisa aku bisa menjadi pelatih ektrakurikuler,
apakah aku punya keahlian dalam bidang tersebut?
Jika
dikatakan ahli mungkin tidak juga, karena selama perjalanan hidupku, aku belum
pernah tercatat menjuarai kejuaraan pencaksilat. Motivasiku hanyalah
menyalurkan pengalaman dan ilmu yang aku miliki. Singkat cerita aku merupakan
salah satu anggota organisasi pencaksilat terbesar di Indonesia tepatnya pada
tahun 2011 aku resmi dilantik sebagai warga
pendekar tingkat 1. Jadi sayang sekali jika ilmu beladiri yang aku miliki
berhenti begitu saja tanpa ku amalkan. Dorongan untuk mengamalkan ilmu beladiri
itu semakin kuat, apalagi di sekolah tempat aku mengajar tidak ada
ekstrakurikuler khusus beladiri. Semula aku mencoba mendekati peserta didik
saat mengajar di kelas, terutama kelas X. Disela-sela mengajar selalu aku
tawarkan tentang ketertarikan mereka pada olahraga beladiri terutama
pencaksilat, satu dua dari meraka akhirnya mulai tertarik pada ajakanku.
Pada
awal bulan November tahun 2015, aku mulai kegiatan ekstrakurikuler latihan
pencaksilat dengan modal nekat dan kesungguhan. Belum ada ijin resmi dari pihak
sekolah, hanya sebatas pembicaraan pada wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Aku diberi waktu tiga bulan percobaan untuk memperoleh minimal dua puluh
peserta didik yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler ini. Itu merupakan tantangan
bagiku mengingat saat pertama melatih hanya ada enam peserta didik yang
tertarik mengikutinya. Tentu bukan hanya sekedar tantangan namun disinilah
kesungguhanku di uji. Harus mengenalkan dan menarik hati peserta didik untuk
mau ikut ekstrakurikuler beladiri yang cendurung tidak diminati generasi
milenial.
Generasi
milenial sedikit yang mau ikut ekstrakuriluker beladiri yang tidak begitu
popular bagi mereka, bahkan masih ada stigma negatif dibekna mereka mengenai
pencaksilat. Tidak hanya peserta didik,
rekan kerja sesama guru juga punya anggapan bahwa pencaksilat itu identik
dengan ilmu klenik, hal gaib berbau supranatural, kerasukan dan sebagainya. Aku
tidak menyalahkan mereka yang punya padangan tersebut karena kultur budaya
khususnya di wilayah malang yang erat kaitannya dengan budaya “bantengan”. Budaya ini semacam atraksi
yang diwarnai dengan berbagai gerakan mirip pencaksilat yang biasanya para
pemain bantengan juga memanggil roh untuk mesuk ke dalam tubuhnya agar bisa menampilkan atraksi kekebalan tubuh
seperti makan beling, kebal bacok dan sebagainya.
Dengan
berbagai pendangan negatif tersebut sulit bagiku untuk mendapat banyak peserta
didik yang ikut ekstrakurikuler pencaksilat. Padahal pencaksilat yang aku
pernenalkan ini bukan aliran seperti yang mereka sangka. Pencaksilat yang didasarkan pada olahraga fisik dan mental,
sama sekali tidak ada ajaran tentang ilmu kekebalan dan memasukan roh ke dalam
tubuh manusia. Memfokuskan pada rasa persaudaraan yang kuat, olahraga,
beladiri, keseinian atau keindahan gerakan jurus dan mental spiritual yang
berdasar pada agama dan kepercayaan masing-masing. Jadi sama sekali bukan
pencaksilat yang beraliran ilmu klenik.
Kegiatan
ekstrakurikuler ini aku jadwalkan di luar hari efektif yaitu setiap minggu pagi
dari pukul 09:00-12:00 WIB. Minggu demi minggu aku tetap sabar dengan kondisi
ini, pelan-pelan aku tetap optimis dengan niatku ini. Meskipun selama lebih
dari dua bulan pesertanya tidak bertambah bahkan cenderung berkurang,
karena ada saja alasan dari peserta
didik memutuskan untuk tidak ikut pencaksilat lagi. Sebagai pelatih, bukan aku
tidak mau bersikap keras pada mereka karena aku menyadari kegiatan ini masih
belum sepenuhnya legal direstui oleh pihak sekolah. Jadi yang aku lakukan hanya
berusaha memotivasi mereka, dan terus memberikan pengertian positif dengan
harapan mereka mau mengajak teman mereka untuk bergabung latihan pencaksilat.
Tidak
terasa sudah tiga bulan dan pesertanya hanya itu-itu saja dan cenderung tidak
mengalami peningkatan hanya bertukar saja, satu keluar satu masuk. Hingga pada
bulan keempat, wakil bidang kesiswaan berbicara padaku tentang perkembangan
ektrakulikuler pencaksilat. Aku tidak bisa berbohong agar ekstrakurikuler ini
tetap direstui dengan mengatakan jumlah fiktif misalnya sesuai target yaitu dua
puluh peserta. Aku berkata jujur bahwa pesertanya tidak banyak hanya enam
peserta didik. Sambil tersenyum, beliau bertanya lagi lalu apakah
ekstrakurikuler ini berjalan rutin setiap minggunya. Aku jelaskan perlahan
bahwa konsistensi latihan ini bisa dipertangungjawabkan, latihan rutin setiap
minggu tetap berjalan terus selama tiga bulan lebih meskipun dengan kondisi minim peserta. Akhirnya beliau
menyuruhku untuk segera mempersiapkan proposal pengajuan pendirian
ekstrakurikuler kepada kepala sekolah. Aku masih tidak menyangka pada waktu
itu, bahwa latihan pencaksilat akan diresmikan menjadi kegiatan ekstrakurikuler
sekolah.
Ternyata
konsistensi dan kesungguhanku selama ini berbuah manis. Tidak ada yang sia-sia.
Bapak wakil kepala bidang kesiswaan menghargai kesungguhan ku, meskipun belum
sesuai dengan target yang beliau inginkan. Sejak saat itu, semangat ku mulai
terlecut untuk segera melakukan langkah tahap berikutnya yaitu agar
ekstrakurikuler ini bisa menghasilkan prestasi.
Comments
Post a Comment