Cendol Dawet di masa Cendol Ruwet
![]() |
Es Cendol Dawet |
Selamat
pagi, meskipun matahari tampak redup, namun janganlah meredupkan harapan di
tengah pandemi ini. Mari kita mulai membahas beberapa hal menarik yang terjadi
pada beberapa bulan terkahir, termasuk badai pandemi virus yang tak kunjung
mereda. Sebenarnya tulisan ini bukan sebuah pengetahuan ataupun nasehat yang
harus kalian percaya. Ini hanya bagian dari opini yang akan aku bagikan sebagai
analisis bersama dalam memaknai berbagai kejadian yang pernah dan mungkin juga
kalian alami seperti ku.
Tidak
perlu banyak kalimat untuk membuka opini ini, dari judul diatas tentu sudah
tidak asing bagi kalian generasi milenial yang mulai menyukai musik campursari jawa.
“Cendol Dawet” dua kata ini sangat khas dalam beberapa bulan terakhir dan
menjadi populer bagi penikmat lagu campur sari atau dangdut yang apapun reff
lagunya pasti ada tambahan “cendol dawet”sebagai pengehentak irama saat
bergoyang. Entah dari mana asal mula kata ini, hingga begitu popular seperti
sekarang. Bagi orang jawa pasti sudah paham jika “cendol dawet” merupakan nama
makanan sekaligus minuman menyegarkan. Sebagain daerah lain tentu juga sudah
mengenalnya dengan nama yang berbeda namun bentuk dan penyajiannya sama.
Sayangnya, aku bukan ahli kuliner jadi pengetahuan ku tentang “cendol dawet” ya
sebatas minuman/ makanan khas jawa yang terbuat dari sari beras, ketan, cincau,
gula merah dan santan (mohon koreksi bila salah).
Lanjut
lagi pada pembahasan “cendol dawet” dalam opini kali ini. “Cendol dawet” dalam
pembahasan ini tak lepas dari lagu “pamer bojo” yang diciptakan oleh alm.Didi
Kempot menjadi hitz di kalangan genereasi milenal yang katanya mampu meng-ambyarkan perasaan mereka tentang patah
hati. Meskipun dalam lirik aslinya sama sekali tidak ada kalimat “cendol dawet”
namun dalam versi lain banyak para penyanyi tertutama artis dangdut yang
menambahkan imbuhan “cendol dawet” sebagai penghentak untuk bergoyang. Terlepas
dari itu semua, aku berpendapt bahwa tahun ini, khususnya di negera kita banyak
moment yang perlu untuk dikenang. Salah satunya ialah, meninggalnya sang
legenda campur sari yaitu Alm. Didi Kempot. Banyak karya dari beliau yang
membuat kita turut larut kedalam perasaan terutama patah hati. Apalagi bila
dikaitkan dengan suasana ditengah musibah pandemi dan bulan ramadhan.
Hentakan
cendol dawet kini sudah tidak bisa semeriah awal kemunculannya. Seakan cendol
dawet itu berubah ditengah cendol ruwet. Mengapa cendol ruwet? Ini hanya opini
saja, karena penduduk negara ini sedang dilanda “keruwetan”. Bagaimana tidak merasa ruwet, sudah hampir tiga bulan
dilanda kecemasan dan dampak dari Covid-19, banyak rakyat yang kehilangan
pekerjaan, bencana sosial, tindakan kriminal dan kelaparan. Aturan pemerintah
untuk mendanggulangi dampak pandemi yang membingungkan, menyusahkan bahkan
menyengserakan rakyat kecil. Berbagai kritik dan pergolakan datang, saling
menyalahkan kebijakan hingga politik kepentingan. Pemerintah sedang berada pada
titik keruwetan yang nyata, ekonomi
harus terus berjalan namun wabah juga belum kunjung diselesaikan. Banyak para
tenaga medis yang sudah mulai menyurakan kegelisan mereka, kegelisahan akan
ketidakpastian sampai kapan mereka akan bertahan dan berperang melawan pandemi
ini. Disisi lain masyrakat juga butuh pertolongan sosial, butuh makan akan
tetap hidup dalam kondisi paceklik.
Lalu muncul gaagasan tentang new normal
sistem dimana kita harus berdamai ditengah virus, memulai hidup normal
dengan aturan baru. Atau entah apa pun itu, kita semua dihadapakan pada kondisi
yang terlalu ruwet untuk dipahami.
Sebagai
penutup tulisan ini, kita sebagai manusia makhluk yang berakal dan berbudi
harus memahami peran masing-masing dalam kehidupan. Tidak perlu saling
menyalahkan, kita butuh semangat kuat untuk hidup bersama-sama. Hidup seimbang,
hidup dengan pengertian dan pemahaman baik. Tugas tenaga medis, dokter, dan
perawat saat ini merupakan tantangan dan tugas berat. Jangan menambah beban
mereka dengan sikap ketidakpedulian kita, apabila kita berada diposisi mereka
tentu juga belum tentu sanggup. Sekali lagi kita butuh kesadaran, kekuatan dan
semangat untuk bangkit kembali menjalani hidup sebagai karunia Tuhan. Agar bisa
menikmati goyang cendol dawet tanpa
harus ruwet.
Comments
Post a Comment