Penerimaan yang baik. (Nikmatnya menjadi Wali Kelas)


Manusia memiliki kecenderungan menilai seseorang dengan membandingkan kenyataan pada umumnya. Penilaian ini bisa lebih baik atau justru sebaliknya karena penilaian inilah manusia satu bisa membenci manusia lainnya. Padahal belum tentu dia sendiri lebih baik dari pada orang yang dinilainya. Tentu Anda sangat familiar dengan pribahasa “Gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diseberang lautan tampak. Pribahasa ini mengajarkan bahwa menilai seseorang itu sangat lah mudah mencari-cari kekurangannya sedangan untuk menilai diri sendiri sangatlah sulit bahkan secara pribadi tidak banyak manusia jujur atas kekurangan yang dimiliki. Kembali lagi pada cacatan wali kelas sebelumnya, kali ini saya akan bercerita tentang pentingnya menerima seseorang sebelum menilainya.

Menjadi wali kelas melatih saya untuk menjadi seorang “pemimpin” tentunya pemimpin bagi anak kelas saya sendiri. Di awal jabatan ini saya memang merasa sangat tertekan karena ada perasaan yang terpendam tentang bagaimana cara saya “mengubah” mereka menjadi lebih baik. Setidaknya mereka tidak dicap lagi sebagai anak nakal. Bulan pertama memang tidak mudah, saya masih sering merasa jengkel dan marah apabila mereka melakukan kesalahan/berbuat nakal sehingga nama saya ikut terbawa-bawa. Hukuman fisikpun menjadi alternatif pilihan yang sangat simpel bahkan teriakan dan nasehat bernada mengancam terlontar begitu saja. Rasanya memang seperti memiliki anak sendiri, dan ada rasa tidak terima jika anak itu berbuat nakal yang menyebabkan nama saya dibawa-bawa menjadi bahan penilain orang lain.

Bulan pertama saya mulai belajar, bahwa hukuman bukanlah cara yang tepat untuk mengubah mereka. Setiap teriakan dan hukuman tidak mengubah mereka sama sekali, kelihatannya mereka takut namun akan terulang kembali, mereka bahkan menjadikan hukuman sebagai hal yang biasa saja, dinasehati pun masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Dari sini saya mulai menyelidiki kenapa dan apa yang membuat mereka seperti ini. Tentu ada banyak faktor yang membuat anak itu berbuat nakal, bak seorang psikiater saya mulai menelitinya.

Pertama sebab seorang anak nakal adalah faktor keluarga, lingkungan keluarga merupakan cetakan pertama karakter anak itu dibentuk, dari keluarga seorang anak akan banyak belajar hal dari mulai kebiasaan orang tua hingga hal sepele sekalipun dan semuanya itu mereka tiru. Persis layaknya kertas putih, orang tua lah yang membuat goresan pertama dikertas tersebut. Hal ini saya bandingkan saat saya melakukan home visit dan saat penerimaan raport. Sikap dan cara orang tua berbicara bahkan sangat mirip dengan anaknya sendiri. Jadi keluarga merupakan pabrik dari produk yang dinamakan anak. Anak akan mengikuti cetakan dari pabrik asalnya, sebagai wali kelas saya tidak bisa menyalahkan anak tersebut karena mereka nakal memang meniru dari kebisaaan orang tua. Sedikit demi sedikit saya mulai menerimanya. Menerima bahwa saya tidak akan bisa mengubah mereka, karena memang dari pabriknya sudah seperti itu. Sedangkan mereka disekolah hanya 6-7 jam sehari, lebih banyak waktu yang dihabiskan dilingkungan keluarga mereka. Lalu apa yang harus saya pakasakan jika kenyataannya demikian. Maka menerimanya adalah pilihan saya.

Faktor selanjutnya adalah lingkungan dimana mereka tinggal. Anak yang tinggal dilingkungan pasar misalnya, mereka akan mudah dan akrab dengan kata-kata orang yang berada di pasar, begitu juga sebaliknya anak yang tinggal dilingkungan pondok pesantren sedikit banyak mereka juga terbisa dengan kebisaan dilingkungan mereka. Dua faktor inilah yang mengubah pola pikir saya, untuk tidak lagi sekedar memarahi/menasehati mereka. Cara terbaiknya adalah menerima mereka dulu apa adanya. Karena saya yakin anak nakal bukanlah pilihan mereka, justru mereka adalah korban dari lingungan keluarga dan lingkungan dimana dia tinggal. Penerimaan yang saya lakukan ternyata sedikit melegakan hati, saya tidak peduli lagi saat ada guru lain yang mengecap dan mengadu jika anak kelas saya berulah atau nakal. Saya memilih diam saat ada guru mengatakan seperti itu. Bahkan saat mereka dihukum dan dimarahi oleh guru lain saya tidak ikut-ikutan. Sejak saat itu saya memilih untuk menyadarkan mereka dengan menerima mereka. Memeluk erat segalanya dari mereka, mendekap pelan dengan nasehat ringan mengajak mereka berpikir dengan apa yang mereka perbuat selama ini. Berdiskusi, mendengarkan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Ternyata mereka sangat senang ada orang yang medengarkan keinginan mereka, seolah saya juga sadar bahwa setiap orang juga menginginkan hal itu. Orang akan sangat senang saat keinginannya didengar dan dipahami oleh orang lain.


Cara ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Penerimaan yang saya lakukan membuat mereka memberikan umpan balik kepada keinginan saya pada mereka. Perlahan saat saya berdiskusi dengan mereka, meraka mulai paham bahwa saya juga ingin begini dan begitu. Kesepahaman inilah yang akhirnya mereka menerima nasehat saya. Kesimpulannya guru tidak bisa mengubah karakter seorang anak sebelum guru tersebut menerimanya. Penerimaan yang baik, menjadi seorang pendengar yang baik akan dibalas dengan penerimaan dan pemahaman yang baik pula. Percayalah, bagi kalian yang mengalami dan berstatus seperti saya semoga ini sedikit membantu. Terimakasih sudah membaca tulisan ini.

Comments

Popular posts from this blog

5 goyang nge-Hitz yang paling banyak ditiru

CAPER (cari perhatian)

TAFAKUR( pikir dan dzikir)