Nikmatnya menjadi Wali Kelas (1)
Menjadi
seorang guru bukan saja tentang sebuah profesi/pekerjaan namun menjadi seorang
guru lebih dari itu. Guru bukan hanya sekedar fasilitator dalam menyampaikan
ilmu. Interaksi antara Guru dengan siswa menciptakan kedekataan emosional yang
berbeda bahkan guru bisa turut merasakan apa yang dialami siswanya. Pengalaman
menjadi seorang guru mengantarkan saya pada penyadaran tentang sosok guru bagi
siswanya. Bak menyelami sebuah samudra, guru harus turut terlibat merasakan dan
“menjadi” siswa tersebut.
Alhamdulilah
sudah 2 tahun terakhir ini tugas tambahan pekerjaan saya adalah sebagai wali kelas.
Wali kelas dari kelas yang sudah terlanjur/terkena cap atau lebih kasarnya
dianggap sebagi kelas paling nakal diantara kelas lainnya di sekolah. Memang tidak
mudah awalnya, bagi saya itu merupakan sebuah beban. Bagaimana mungkin mengubah
citra anak-anak yang sudah terlanjur di cap sebagai anak nakal, yang sering
melanggar kedisiplinan, bolos sekolah bahkan bersikap kurang sopan kepada
guru-guru. Sebagai wali kelas tentunya itu merupakan tanggungjawab yang harus
saya lakukan, memimbing mereka minimal saya harus bisa memberikan pengarahan
dan contoh baik bagi mereka.
Perjalanan
ini bukanlah perjalanan yang menyenangkan, menjadi wali kelas itu rasanya
seperti mempunyai banyak anak, dan banyangkan saja jika Anda sendiri mempunyai
anak yang banyak dan semuanya terkenal cap nakal oleh lingkungan sekitar. Dan anehnya
saya merasa seperti itu padahal saya sendiri belum mempunyai anak, nikah saja
belum hehe istilah jawa nya “angge-angge orong-orong ora melu gawe melu momong”.
Justru inilah awal kisah saya menjadi seorang wali kelas. Bagi sebagian guru
yang sudah mengabdi perpuluh-puluh tahun tentu pernah merasakan yang saya alami
dan mungkin sudah menganggap itu hal yang biasa. Namun karena saya adalah guru
yang masih magang alias baru kemarin sore menjadi guru tentu ini sangat
menantang.
Tentu
Anda pernah menjadi anak-anak, sewaktu anak-anak saat Anda berbuat nakal orang
tua Anda ikut merasakan bagaimana tidak enaknya kena omelan tentangga, contoh “itu
loh si A anak nya Pak Badrun nakalnya bukan main apa tidak didik oleh bapaknya”
baiknya seorang anak juga akan membawa nama baik orang tuanya begitu pun
sebaliknya. Hal itulah yang setiap hari saya rasakan, omelan dari guru-guru
lain pasti menyudutkan posisi saya sebagai wali kelas seolah saya lah yang paling
bertangungjawab atas kenakalan mereka. What?? Seolah mereka tidak mau mengakui
siswa nakal itu sebagai bagian dari siswa lainnya dan menyudutkan saya sebagai
walikelas yang harus bertangungjawab penuh. Coba Anda banyangkan jika Anda
sebagai saya.., seperti diatas tadi “angge-angge orong-orong” saya tidak ikut
menciptakan dan menghendaki mereka nakal namun saya lah yang seolah pantas
untuk disalahkan, boleh saja Anda menganggap saya baper namun itulah yang saya
rasakan. Sangat tidak menyenangkan, ada tanggungjawab moral untuk bisa mengubah
citra mereka dimata para guru lainnya.
Comments
Post a Comment